MAKALAH
NIAT/MOTIVASI
BERAMAL DAN MENJAUHI PERBUATAN RIYA
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
HADITS
Dosen :
Rijal
Arsyad,M.Pd
Disusun Oleh:
Ridwan Ilahude
11.23.007
Nurjannah
Wahid
PAI 1/ SEMESTER IV
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) MANADO
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sehubungan dengan
pentingnya keikhlasan dalam melaksanakan ibadah, Imam Mujahid berkata bahwa:
“Amal tanpa niat adalah sia-sia. Niat tanpa didasari keikhlasan adalah riya’.
Keikhlasan tanpa dibarengi dengan ilmu bagaikan debu beterbangan tanpa arah.
Amalan yang dilakukan atas dasar riya tak ubahnya dengan perbuatan orang-orang
munafik, yang aspek luarnya menampakkan ketaatan tapi aspek bathinnya penuh
dengan penipuan dan kepalsuan. Dengan kata lain, hakikat amal mereka adalah
penipuan belaka, karena ibadah yang mereka lakukan bukan karena menjalankan
perintah dan mengharapkan ridha-Nya, melainkan untuk mendapatkan penilaian
manusia.
Oleh karena itu segala
perbuatan yang baik harus diiringi oleh niat, untuk lebih sempurnanya amal
perbuatan yang kita lakukan. Dari
perbuatan tersebut harus diiringi dengan keikhlasan semata-mata karena
Allah, sehingga perbuatan kita jauh dari sifat riya’ yang hanya ingin mendapat
pujian orang lain, dalam melakukan amal perbuatan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian dari latar belakang di atas, kelompok kami membahas beberapa hal yang berkaitan
dengan niat atau motivasi beramal dan menjahui perbutan riya’ atau syirik
kecil.
Berbagai
permasalahan yang diuraikan di atas, penyusun memberi batasan dalam makalah
ini, dan penyusun dapat mengembangkan
menjadi sub-sub sebagai berikut:
1.
Bagaimana niat atau
motivasi beramal ?
2.
Bagaimana menjahui
perbuatan riya’ ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NIAT/MOTIVASI
BERAMAL
Teks
Hadits
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ عَنْ سُفْيَانَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ
مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ وَقَّاصٍ
اللَّيْثِيِّ قَالَ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
وَلِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ
فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Terjemah: “ Al-Humaidiy ‘Abdullah bin al-Zubair telah
menceritakan kepada kami, ia berkata, Sufyan telah menceritakan kepada kami, ia
berkata, Yahya bin Sa’id al-Anshariy telah menceritakan kepada kami, ia
berkata, Muhammad bin Ibrahim al-Taimiy telah mengabarkan kepadaku bahwa ia
telah mendengar ‘Alqamah bin Waqqash al-Laytsiy berkata, aku telah mendengar
‘Umar bin Khattab r.a. berkata di atas mimbar, ia berkata bahwa dia mendengar
Rasulullah SAW telah telah bersabda: “Sesungguhnya amal dinilai berdasarkan
niat, dan setiap orang mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Maka
barangsiapa berhijrah semata-mata karena taat kepada Allah dan Rasulullah-Nya,
maka hijrah itu dinilai sebagai hijrah karena ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrah karena mengharapkan keuntungan dunia,
atau karena perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya dinilai berdasarkan
apa yang ia niatkan dalam berhijrah.”
(H.R. Bukhari dan Muslim).[1]
Penjelasan
Hadis
Hadits ini adalah Hadits shahih yang telah disepakati keshahihannya,
ketinggian derajatnya dan didalamnya banyak mengandung manfaat. Imam Bukhari
telah meriwayatkannya pada beberapa bab pada kitab shahihnya, juga Imam Muslim
telah meriwayatkan hadit ini pada akhir bab Jihad.[2]
Hadits ini salah satu
pokok penting ajaran islam. Imam Ahmad dan Imam Syafi'i berkata : "Hadits
tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu." Begitu pula kata imam Baihaqi
dll. Hal itu karena perbuatan manusia terdiri dari niat didalam hati, ucapan
dan tindakan. Sedangkan niat merupakan salah satu dari tiga bagian itu.
Diriwayatkan dari Imam Syafi'i, "Hadits ini mencakup tujuh puluh bab
fiqih", sejumlah Ulama' mengatakan hadits ini mencakup sepertiga ajaran
islam.[3]
Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah saw. sebagai jawaban
atas pertanyaan seorang sahabat yang terkait dengan motif keikutsertaannya
dalam hijrah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa sabab wurud hadis
ini terkait dengan hijrahnya Rasulullah saw. dari Mekah ke Madinah. Dalam
peristiwa tersebut, sejumlah besar sahabat ikut serta dengan Nabi saw. untuk
berpindah (hijrah) ke Madinah. Di antara para sahabat yang ikut bersama Nabi
saw., ada salah seorang di antara mereka yang ikut serta, tapi niat
keikutsertaannya bukan motif menyelamatkan aqidah dan memperjuangkan dakwah
Islam, tapi karena ia mengikuti seorang wanita pujaan yang akan dikawinianya
yang kebetulan hijrah bersama Rasulullah saw. ke Madinah. Menurut riwayat,
wanita tersebut bernama Ummu Qais. Pada awalnya, laki-laki tersebut tidak berniat
hijrah bersama Rasulullah saw., tapi karena wanita pujaannya bertekat hijrah
dan memutuskan siap dikawini di Madina. Atas dasar tersebut maka laki-laki itu
ikut serta bersama rombongan muhajirin ke Madinah, meskipun motifnya lain,
yaitu menikahi wanita pujaannya. Setelah sampai di Madinah, kasus tersebut
ditanyakan kepada Nabi saw. apakah orang tersebut mendapatkan pahala hijrah
sebagaimana pahala yang diperoleh oleh sahabat-sahabat lain. Maka Rasulullah
saw. bersabda bahwa: amal seseorang dipahalai berdasarkan niat, sebagaimana
yang tercantum dalam hadis yang disebutkan di atas.[4]
Allah berfirman dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:
!$tBur
(#ÿrâÉDé&
wÎ)
(#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC
ã&s!
tûïÏe$!$# uä!$xÿuZãm (#qßJÉ)ãur no4qn=¢Á9$#
(#qè?÷sãur no4qx.¨9$#
4 y7Ï9ºsur
ß`Ï ÏpyJÍhs)ø9$#
ÇÎÈ
Terjemah:”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus,[5] dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus”. (Q.S.
Al-Bayyinah [98]: 5)
Anniyat
jamak dari niyyat . Dalam bahasa
diartikan al-qhoshdu (tujuan), yaitu
hati menyengaja secara sadar terhadap apa yang dituju (dimaksud)
mengerjakannya.[6]
Imam Ibnul Qayyim berkata, ”Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu
mengikuti niat. Amal menjadi benar karena niat yang benar. Dan amal menjadi
rusak karena niat yang rusak.” (I’lamul Muwaqqi’in VI/106, tahqiq Syaikh
Masyhur).[7]
Dalam kitab Riyadhush
Shalihin dalam bab ikhlas Imam Nawawi berpendapat:”Ikhlas ialah: seluruh
ketaatan yang semata-mata ditunjukan karena Allah. Yakni ketaatan seseorang
mukmin yang dinamakan taqarrub itu tertuju kepada Allah bukan dibuat-buat untuk
manusia, untuk mendapatkan pujian manusia atau untuk supaya disayangi manusia,
atau maksud apa saja selain taqarrub kepada Allah.”[8]
Dalam
kitab Islamuna Sayid Sabiq mendefinisikan istilah ikhlas sebagai berikut:
“Ikhlas adalah bahwa manusia semata-mata
mengharapkan ridha Allah swt. dari perkataan, perbuatan, dan jihadnya, tanpa
mengharapkan materi, popularitas, julukan, perhatian, superioritas, atau
pamrih, agar manusia terhindar dari ketidaksempurnaan amal dan akhlak tercela,
sehingga langsung berhubungan dengan Allah swt.
Sesuai penjelasan di atas, maka perbuatan yang mendapatkan
pahala hanyalah perbuatan yang sejalan dengan perintah Allah saw. Dengan
demikian, meskipun sesuatu itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, tetapi
perbuatan tersebut bertentangan dengan perintah Allah saw. atau melanggar
aturan Allah swt., maka perbuatan tersebut sudah tentu tidak termasuk dalam
kategori niat yang dikehendaki dalam hadis di atas. Jadi, inti niat yang benar
adalah harus sesuai dengan perintah Allah swt.[9]
Niat pada prinsipnya adalah sesuatu yang bersifat abstrak.
Niat bersemayam di dalam hati masing-masing orang. Tidak ada yang mampu
mengetahui apa yang menjadi niat seseorang melakukan sesuatu kecuali Allah
sendiri, sebab ia Maha Mengetahui yang tampak maupun yang tersembunyi. atau
motivasi itu bertempat di dalam hati. Jika sesuatu dilakukan dengan niat yang
baik, Allah pasti mengetahuinya, dan demikian pula sebaliknya. Sehubungan
dengan hal ini Allah swt. befirman dalam QS. Ali Imran (3): 29:
ö@è% bÎ) (#qàÿ÷è? $tB Îû öNà2Írßß¹ ÷rr& çnrßö6è? çmôJn=÷èt ª!$# 3 ãNn=÷ètur $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# 3 ª!$#ur 4n?tã Èe@à2 &äó_x« ÖÏs% ÇËÒÈ
Terjemah: “Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu
atau kamu melahirkannya, pasti Allah Mengetahui". Allah mengetahui apa-apa
yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu.”(Q.S. Ali Imran [3]: 29)
Meskipun niat merupakan sesuatu yang abstrak, namun Allah
swt. menjadikannya sebagai prioritas penilaian. Aspek lahiriyah bisa saja
direkayasa oleh manusia untuk mendapatkan penghargaan sesama manusia, tetapi
aspek niat tidak bisa direkayasa. Meskipun tidak tampak bagi manusia, tapi ia
tampak bagi Allah swt. Berkaitan dengan pentingnya aspek niat, Nabi saw,.
bersabda dalam sebuah riwayat Imam Muslim sebagai berikut:
“Amru al-Naqid telah menceritakan kepada
kami, Katsir bin Hisyam telah menceritakan kepada kami, Ja’far bin Burqan telah
menceritakan kepada kami, dari Yazid bin al-Asham, dari Abu Hurairah r.a ia
berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah swt. tidak melihat
bentuk badan dan rupamu, tetapi menilai niat dan keikhlasan dalam hatimu. (H.R.
Muslim)”
Hal-hal yang bersifat materi sering menipu pandangan orang.
Adakalanya kepentingan dunia menodai hasil akhir dari segala amal ibadah
manusia. Seeorang yang melakukan amal shaleh tetapi diselubungi dengan
kepentingan duniawi, maka orang tersebut bisa saja mendapatkan apa yang menjadi
kepentingannya di dunia, tetapi pahala akhirat tidak diperolehnya karena tidak
disertai dengan ikhlas dalam perbuatannya. Fenomena seperti ini disinyalir oleh
Allah swt. dalam QS. Hud (11): 15-16:
`tB tb%x. ßÌã no4quysø9$# $u÷R9$# $uhtFt^Îur Åe$uqçR öNÍkös9Î) öNßgn=»yJôãr& $pkÏù óOèdur $pkÏù w tbqÝ¡yö7ã ÇÊÎÈ y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# }§øs9 öNçlm; Îû ÍotÅzFy$# wÎ) â$¨Y9$# ( xÝÎ7ymur $tB (#qãèuZ|¹ $pkÏù ×@ÏÜ»t/ur $¨B (#qçR$2 tbqè=yJ÷èt ÇÊÏÈ
Terjemah:”Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya
kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna
dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak
memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang
Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.[10] (Q.S. Hud [11]:15-16)
Berdasarkan ayat di atas, tampak dengan sangat jelas bahwa
seseorang yang melakukan kebajikan karena memburu kepentingan duniawi belaka,
maka amalan yang diperbuatnya tidak lebih dari fatamorgana yang secara sepintas
menjanjikan kebahagiaan, tapi pada hakikatnya hanya baying-bayang semua yang
akan mengakibatkan kekecewaan. Oleh sebab itu, bukanlah suatu yang mustahil
jika seseorang dalam hidupnya di dunia banyak melakukan kebaikan tapi tidak
secara ikhlas, namun di akhirat tidak menemukan yang menjadi dambaannya.
Kenyataan sepeti ini juga dipertegas Allah swt. dalam QS. Al-Furqan (25): 23:
!$uZøBÏs%ur 4n<Î) $tB (#qè=ÏJtã ô`ÏB 9@yJtã çm»oYù=yèyfsù [ä!$t6yd #·qèWY¨B ÇËÌÈ
Terjemah:“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan,[11]
lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”.
(Q.S.Al-Furqan [25]: 23)
Sebaliknya, perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas di sisi
Allah tidak pernah rugi. Bahkan amal yang dilakukannya mendapat ganjaran
berlipat ganda dan kebahagiaan abadi. Janji seperti ini ditegaskan Allah swt.
dalam bentuk tasybih (perumpamaan) dalam QS. Al-Baqarah (2): 265-266.
Pelajaran yang terdapat dalam Hadits
1.
Niat merupakan syarat layak/diterima
atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala
kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
2.
Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada
awal ibadah dan tempatnya di hati.
3.
Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena
Allah ta’ala dituntut pada semua amal shaleh dan ibadah.
4.
Seorang mu’min akan diberi ganjaran
pahala berdasarkan kadar niatnya.
5.
Semua pebuatan yang bermanfaat dan mubah
(boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan
bernilai ibadah.
6.
Yang membedakan antara ibadah dan adat
(kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
7.
Hadits diatas menunjukkan bahwa niat merupakan
bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut
pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan
dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.[12]
B.
MENJAUHI PERBUATAN RIYA/SYIRIK KECIL
Teks hadis
حَدَّثَنَا يُونُسُ
حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنَ الْهَادِ عَنْ عَمْرٍو عَنْ
مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا
الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ يَقُولُ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِذَا جُزِيَ النَّاسُ بِأَعْمَالِهِمْ
اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ
تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي الْعَبَّاسِ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ عَمْرِو بْنِ أَبِي
عَمْرٍو عَنْ عَاصِمِ بْنِ عُمَرَ الظَّفَرِيِّ عَنْ مَحْمُودِ بْنِ لَبِيدٍ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَخْوَفَ مَا
أَخَافُ عَلَيْكُمْ فَذَكَرَ مَعْنَاهُ
Artinya: Telah bercerita kepadaku Yunus, telah
bercerita kepadaku Laits dari Yazid yaitu Ibnu Had dari Amar dari Mahmud Ibnu
Labid Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: "Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah
syirik kecil. Para sahabat bertanya,”Apakah syirik yang paling kecil itu Ya
Rasulallah?”. Rasulullah Saw menjawab, “Riya’. [13] Allah Azza wa Jalla berfirman, “Pada hari
kiamat ketika membalas hamba-hamba karena amal perbuatan mereka, ‘Pergilah kamu
pada orang-orang , di mana kamu memperlihatkan amal perbuatan kepada mereka di
dunia. Maka lihatlah,apakah kamu mendapatkan balasan disisi mereka?”.[14] Telah bercerita
kepadaku Ibrahim Ibnu Abil Abbas, telah bercerita kepadaku Abdurrahman Ibnu Abi
Zinad dari amar Ibnu Abi Amrin dari A’sim Ibnu Umar al-Thofari dari Mahmud Ibnu
Labid bawa Rasulullah saw. bersabda "Sesungguhnya hal yang paling aku
takutkan menimpa umatku, kemudian menyebutkan maknanya. (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan).[15]
Penjelasan
Singkat
Riya berasal dari kata رَأَي yang
arti dasarnya adalah (melihat). Riya dalam bentuk mashdarnya berarti“
tindakan memperlihatkan atau memamerkan” sesuatu. Riya dalam pengertian istilah
syariat adalah melakukan ibadah bukan dengan niat menjalankan kewajiban dan
menunaikan perintah Allah swt., melainkan bertujuan untuk mendapat perhatian
orang, baik untuk tujuan popularitas, mendapat pujian, atau motif-motif selain
karena Allah swt.
Dalam dimensi semantik,
riya’ adalah memperlihatkan kepada orang lain berbeda dengan kenyataannya.
Dalam terminologi syari’at, riya’ adalah melakukan taat dan meninggalkan
maksiat tetapi dengan memperhatikan selain Allah SWT, atau menceritakannya,
atau dia merasa suka amal tersebut dilihat orang lain demi tujuan-tujuan
duniawi.[16]
Sifat riya’
memiliki beberapa tingkatan. Jika keseluruhan Tujuannya adalah perbuatan riya’,
maka tentu itu membatalkan ibadah. Jika tujuan ibadah dan Riya’ itu sebanding
dengan mengurangkan setiap salah satunya, maka ini tidak mendatangkan kebaikan
baginya dan tidak pula kejelekan.[17]
Keluar kepada manusia dengan pakaian yang bagus adalah riya’ tetapi tidak
haram, kerena didalamnya tidak ada riya’ dengan amalan ibadah.[18]
Hal ini ditunjukkan dengan hadis yang
diriwayatkan Aisyah r.a. bahwa ia berkata, “Apabila Rasulullah saw. hendak
keluar menemui para sahabatnya, ia bercermin pada permukaan air, lalu
memperbaiki serban dan merapikan rambutnya.” ‘Aisyah bertanya, “Apakah engkau
melakukan hal itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Benar, Allah SWT.
Menyukai hamba-hamba-Nya yang berhias untuk saudara-saudaranya apabila ia
keluar menemui mereka.
Jika perbuatannya semata-mata karena riya’,
tanpa ada tujuan ibadah, ketika kemudian terbebas dari riya’ maka barangkali
tidak sia-sia amalannya. Namun dikurangi pahalanya, atau disiksa berdasarkan
kadar riya’ yang diperbuatnya[19].
Amal ibadah yang
disertai dengan syirik di dalam nya, Allah tidak akan menerima amal tersebut
sebagaimana hadis di bawah ini:
لا يقبل الله عملا فيه مثقال حبة من رياء (روي الثلاثة المنذرى فى الترهيب)
Terjemah: “Sekali kali Allah tidak akan menerima suatu
amal yang di dalamnya terdapat sebesar biji sawi dari riya’. (Ketiga hadis ini
diriwayatkan oleh al-Mundziri di dalam kitab at-Tarhibnya).”
Seseorang yang beramal
dan masih di sertai syirik di dalamnya seperti beramal dengan maksud agar
dikatakan sebagai orang yang alim dan ahli baca Al-Quran, maka Allah akan
memasukkannya ke dalam neraka karena ia menjadikan makhluk, yaitu kemasyhuran,
sebagai tuhannya. Ibadahnya itu bukan karena Allah tetapi karena Makhluk-Nya.
Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa’ : 142
¨bÎ)
tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$#
tbqããÏ»sä
©!$#
uqèdur
öNßgããÏ»yz
#sÎ)ur
(#þqãB$s%
n<Î)
Ío4qn=¢Á9$#
(#qãB$s%
4n<$|¡ä.
tbrâä!#tã
}¨$¨Z9$#
wur
crãä.õt
©!$#
wÎ)
WxÎ=s%
ÇÊÍËÈ
Terjemahnya:”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan
membalas tipuan mereka.[20]
dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka
bermaksud riya[21]
(dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali
sedikit sekali.”[22]
(Q.S. An-Nissa’[4]: 142)
Firman
Allah dalam Q.S Al-Ma’un: 4-7
×@÷uqsù ú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd crâä!#tã ÇÏÈ tbqãèuZôJtur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
Terjemahnya:”Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,(yaitu) orang-orang
yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (Q.S.
Al-Maa’un [107]: 4-7)[23]
Orang yang beramal
dengan maksud agar ia dikatakan sebagai orang yang dermawan, maka ia pun
dimasukkan ke dalam neraka, karena tujuan ibadahnya itu hanyalah ingin
memperoleh kemasyhuran. Maka memberinya kemasyhuran di dunia dan di akhirat
tiada apa-apa lagi baginya kecuali neraka. Allah berfirman dalam Q.S Al-Isra
:18
`¨B
tb%x.
ßÌã
s's#Å_$yèø9$#
$uZù=¤ftã
¼çms9
$ygÏù
$tB
âä!$t±nS
`yJÏ9
ßÌR
¢OèO
$oYù=yèy_
¼çms9
tL©èygy_
$yg8n=óÁt
$YBqãBõtB
#Yqãmô¨B
ÇÊÑÈ
Terjemahnya:”Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang
(duniawi), Maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki
bagi orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia
akan memasukinya dalam Keadaan tercela dan terusir.” (Q.S. Al-Isra’ [17]:
18)
Riya
dalam pokok keimanan, maka itu adalah kemunafikan. Pelakunya kekal di dasar
neraka. Jika riya’ itu dalam pokok-pokok fardhu, bukan dengan pokok-pokok
keimanan, maka itu lebih ringan. Dan jika riya’itu dalam ibadah sunnah atau
dalam sifat-sifat ibadah, hukumnya telah disebutkan di atas.
Riya merupakan suatu kondisi yang bertolak belakang dengan
ikhlas, dalam pengertian bahwa jika unsur riya ada dalam suatu perbuatan maka
otomastis keikhlasan akan berkurang nilainya, dan bahkan bisa hilang sama
sekali. Orang yang beribadah didasari oleh unsur riya tidak akan mendapat
pahala dari Allah swt., karena motif ibadahnya tidak lagi murni karena Allah
melainkan karena makhluk-Nya. Mengingat bahaya dari riya, maka Rasulullah saw.
dalam hadis yang disebutkan di atas menggolongkannya dalam kelompok syirik
kecil. Hal tersebut karena dia melaksanakan pengabdian kepada Allah swt. dalam
ibadah yang dilakukannya, tetapi di balik pengabdian tersebut dia melibatkan
makhluk Allah swt. sebagai mitivasi dalam perwujudan ibadahnya kepada Allah,
sehingga pengabdiannya tidak lagi ikhlas karena Allah swt.
Sebagaimana dosa-dosa yang lain, riya juga mempunyai
tingkatan-tingkatan sesuai dengan kadar besarnya motif luar yang mempengaruhi
seseorang dalam melakukan sesuatu. Imam al-Ghazali, dalam Ihya ‘Ulum
al-Din, membagi riya menjadi beberapa tingkatan, yaitu:
- Tingkatan
paling berat, yaitu orang yang tujuan setiap ibadahnya hanyalah untuk riya
dan tidak mengharapkan pahala. Misalnya, seseorang yang hanya melakukan
shalat jika berada di hadapan orang banyak, sedangkan jika sendirian ia
tidak melaksanakannya, bahkan kadang-kadang shalat tanpa berwudhu terlebih
dahulu.
- Tingkatan
kedua ialah orang yang beramal dengan mengharapkan pahala, tetapi unsur
riya lebih dominan. Jika dilihat orang maka ia banyak melakukan amal
kebajikan, tetapi jika sendirian amalnya sangat sedikit. Misalnya,
seseorang yang memberikan banyak sedekah di hadapan orang, tapi jika tidak
ada yang melihat, maka sedekahnya sedikit.
- Tingkatan
ketiga, yaitu seimbang antara niat memperoleh pahala dari Allah dan riya.
Sikap seperti ini menodai perbuatan baik uang dilakukannya, dalam
pengertian mencampur adukkan antara pahala dan dosa.
- Tingkatan
keempat ialah menjadikan riya (dilihat orang) hanya sebagai pendorong
untuk melakukan ibadah, sehingga jika tidak dilihat orang pun, dia tetap
melakukan ibadah. Hanya saja ia merasa lebih semangat kalau dilihat orang.
Imam
Ali r.a mengemukakan tiga cirri-ciri orang riya sebagai berikut:[24]
- Malas
beramal kalau sendirian
- Semangat
beramal kalau dilihat orang banyak
- Amalnya bertambah
banyak kalau di puji oleh orang lain, dan berkurang kalau dicela orang
lain.
Ciri-ciri orang riya sebagaimana disebutkan Imam Ali di atas,
hendaknya dijadikan sebagai rambu-rambu untuk berusaha maksimal membentengi
segala amalan kita dari segala bentuk riya. Syaqiq bin Ibrahim sebagaimana
dikutip Abu Laits Samarqandi mengemukakan tiga perkara yang dapat dijadikan
benteng amal, sebaga berikut:[25]
- Hendaknya
mengakui bahwa amal ibadahnya merupakan pertolongan Allah swt. agar
penyakit ujub dalam hatinya hilang;
- Semata-mata
hanya mencari ridha Allah swt. agar hawa nafsunya teratur
- Senantiasa
hanya mengharap ridha Allah swt. agar tidak timbul rasa tamak atau riya
Oleh sebab itu, besarnya ancaman dan bahaya bagi orang yang
melakukan amalan karena riya, tidak boleh menjadi alasan dan membuat kita
enggan melakukan amal ibadah. Justru hendaknya ancaman-ancaman seperti itu
dijadikan sebagai motivasi untuk semakin berusaha membersihkan segala amalan
kita dari segala bentuk riya, sekecil apapun bentuknya.
Sehubungan dengan hal ini, Abu Bakar al-Wasith berpendapat bahwa menghilangkan riya dalam
beramal sangat penting. Namun, jika belum dapat membersihkan diri dari
unsur-unsur riya dalam amalan, kita tidak boleh berputus asa dan tidk boleh
menjadi penghalang bagi kita untuk melakukan amal tersebut karena takut riya.
Oleh sebab itu, tetaplah beramal seraya memohon ampun kepada Allah swt. atas
kemungkinan riya yang ada dalam amalan yang kita lakukan, dengan harapan Allah
swt. memberi taufik dalam melakukan amal-amal dengan ikhlas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Niat dalam ajaran Islam mempunyai arti yang sangat penting,
sebab ia merupakan kunci kebermaknaan amal di sisi Allah. swt. Semua bentuk
perbuatan yang orientasinya adalah mengharap pahala dari Allah swt. hanya dapat
dinilai jika didasari dengan niat. Niat itulah yang menentukan nilai dan
kualitas sebuah perbuatan. Pahala yang diperolehnya pun sesuai dengan yang
menjadi motivasi dalam melakukan perbuatan tertentu.
Riya akan sangat merugikan bagi pelakunya, karena segala amal
ibadahnya akan sia-sia. Itulah sebabnya riya sangat berbahaya, bahkan
dikategorikan sebagai syirik kecil. Namun demikian, seseorang tidak
boleh enggan untuk beramal karena takut riya. Tetapi yang bijaksana
adalah tetap berpacu dalam memperbanyak ibadah dan amal kebajikan seraya
memohon taufiq dari Allah swt. agar dikaruniai keikhlasan dalam segala
amalannya.
B.
Saran-saran
Dengan adanya makalah mengenai niat/motivasi beramal
dan menjauhi perbuatan riya/syirik
kecil, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang
bagaimana posisi niat dalam beramal dan menjauhi perbuatan riya’. Sehingga
dapat menambah khasah ilmu pengetahuan kita. Penyusun menyadari sebaik apapun
sebuah karya tulis dalam makalah ini,
kiranya akan lebih baik lagi jikalau teman-teman mahasiswa dan lebih
khusus dosen pengasuh mata kuliah fiqih dapat memberikan sumbang saran yang
membangun sehingga makalah ini akan menjadi bahan pembelajaran yang berkembang
untuk pembuatan karya ilmiah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
·
Shahih
Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya
Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9
Imam Online Terjemah Indonesia
·
Husaini
Majid Hasyim , Syarah Riyadhush
Shalihin Jilid I, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1993). h.15-16
·
Ibnu
Hajar Ats-Qalani alih bahasa Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan
Untuk Menghindari Kejelekan Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah
Press, 1994) Hal.489
·
Al-Ghazali,
Mutiara Ihya’ Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I,
Bandung; PT. Mizan Pustaka, 1990) Hal. 280
·
Musnad
Ahmad 22523, Kitab: 13. Sisa Musnad Sahabat Anshor, Bab; 1057. Hadist Mahmud
Bin Labid Radiyallahu’anhu. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9
Imam Online Terjemah Indonesia.
·
Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta:
Dinamika Berkat Utama, t.t), h. 123.
·
Al-Faqih
Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral,
penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.
·
http//salafidb.googlepage.com,
Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbai’in:
Bab Niat, 07-04-2013
·
http//salafidb.googlepage.com, Imam
Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat
Dalam Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar,07-04-2013
·
http://muslim.or.id, Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal, (Disebarkan
dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h. 9. 08-04-2013
·
http://muslim.or.id, Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal, (Disebarkan
dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h. 9. 08-04-2013
[1]Shahih Bukhari 52, Kitab:
2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu
Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/
Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia
[2]
http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan
Hadist Arbai’in: Bab Niat, 25-03-2011
[3]
http//salafidb.googlepage.com, Ibid.
[4]http//salafidb.googlepage.com, Imam
Nawawi, Riyadhus Shalihin, Keikhlasan Dan Menghadhirkan Niat Dalam
Segala Perbuatan, Ucapan Dan Keadaan Yang Nyata Dan Yang Samar
[6]
http://muslim.or.id, Abul ‘Abbas Khalid Syamhudi, Fikih Niat: Peran Niat dalam Amal, (Disebarkan
dalam bentuk Ebook di Maktabah Abu Salma al-Atsari http://dear.to/abusalma), h. 9. (26-03-2011)
[8]Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993).
h.15-16
[9] Ibid
[11]Yang dimaksud dengan amal
mereka disini ialah amal-amal mereka yang baik-baik yang mereka kerjakan di
dunia amal-amal itu tak dibalasi oleh Allah Karena mereka tidak beriman.
[13]Ibnu Hajar Ats-Qalani alih bahasa
Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan Untuk Menghindari Kejelekan
Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah Press, 1994) Hal.489
[14]Al-Ghazali, Mutiara
Ihya’ Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I, Bandung; PT. Mizan
Pustaka, 1990) Hal. 280
[15]Musnad Ahmad 22523, Kitab:
13. Sisa Musnad Sahabat Anshor, Bab; 1057. Hadist Mahmud Bin Labid
Radiyallahu’anhu. Dalam http://lidwa.com./app/
Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia.
[16]Ibnu Hajar Al-AsQalani, Syarah Bulughul Maram
penerjemah Achmad Sunarto (Cet ke I, Surabaya; Maktabah Asy-Syuruq Mesir,2001)
Hal. 948
[18]Al-Ghazali, Ibid.
[19]Al-Ghazali, Ibid. Hal. 288
[20]Maksudnya: Alah membiarkan mereka dalam pengakuan
beriman, sebab itu mereka dilayani sebagai melayani Para mukmin. dalam pada itu
Allah telah menyediakan neraka buat mereka sebagai pembalasan tipuan mereka
itu.
[21]Riya Ialah: melakukan sesuatu amal tidak untuk
keridhaan Allah tetapi untuk mencari pujian atau popularitas di masyarakat.
[22]Maksudnya: mereka sembahyang hanyalah sekali-sekali
saja, Yaitu bila mereka berada di hadapan orang.
[23]Sebagian Mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.
[25]Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib
al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m
(Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.
Tidak niat sekali anda membikin blog
BalasHapus